Saya adalah pecinta tulisan Ust. Sallim A. Fillah jadi setiap goresan yang beliau tuliskan akan saya letakkan kembali di blog saya. Agar saya selalu membacanya serta selalu mengingatkan saya.
Dan tulisan inilah yang menjadi salah satu favorit saya yang dituliskan juga dalam bukunya "Bahagianya Merayakan Cinta" yang saya sudah hatam bukunya :D
♥♥♥
Salman Al Farisi memang sudah waktunya menikah. Seorang wanita Anshar yang
dikenalnya sebagai wanita mukminah lagi shalihah juga telah mengambil tempat di
hatinya. Tentu saja bukan sebagai kekasih. Tetapi sebagai sebuah pilihan dan
pilahan yang dirasa tepat. Pilihan menurut akal sehat. Dan pilahan menurut
perasaan yang halus, juga ruh yang suci.
Tapi bagaimanapun, ia merasa asing di sini. Madinah bukanlah
tempat kelahirannya. Madinah bukanlah tempatnya tumbuh dewasa. Madinah memiliki
adat, rasa bahasa, dan rupa-rupa yang belum begitu dikenalnya. Ia berfikir,
melamar seorang gadis pribumi tentu menjadi sebuah urusan yang pelik bagi
seorang pendatang. Harus ada seorang yang akrab dengan tradisi Madinah berbicara
untuknya dalam khithbah. Maka disampaikannyalah gelegak hati itu kepada shahabat
Anshar yang dipersaudarakan dengannya, Abud Darda’.
”Subhanallaah..
wal hamdulillaah..”, girang Abud Darda’ mendengarnya. Mereka tersenyum
bahagia dan berpelukan. Maka setelah persiapan dirasa cukup, beriringanlah kedua
shahabat itu menuju sebuah rumah di penjuru tengah kota Madinah. Rumah dari
seorang wanita yang shalihah lagi bertaqwa.
”Saya adalah Abud Darda’, dan ini adalah saudara saya Salman
seorang Persia. Allah telah memuliakannya dengan Islam dan dia juga telah
memuliakan Islam dengan amal dan jihadnya. Dia memiliki kedudukan yang utama di
sisi Rasulullah Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam, sampai-sampai beliau menyebutnya
sebagai ahli bait-nya. Saya datang untuk mewakili saudara saya ini melamar putri
Anda untuk dipersuntingnya.”, fasih Abud Darda’ bicara dalam logat Bani Najjar
yang paling murni.
”Adalah kehormatan bagi kami”, ucap tuan rumah, ”Menerima anda
berdua, shahabat Rasulullah yang mulia. Dan adalah kehormatan bagi keluarga ini
bermenantukan seorang shahabat Rasulullah yang utama. Akan tetapi hak jawab ini
sepenuhnya saya serahkan pada puteri kami.” Tuan rumah memberi isyarat ke arah
hijab yang di belakangnya sang puteri menanti dengan segala debar hati.
”Maafkan kami atas keterusterangan ini”, kata suara lembut itu.
Ternyata sang ibu yang bicara mewakili puterinya. ”Tetapi karena anda berdua
yang datang, maka dengan mengharap ridha Allah saya menjawab bahwa puteri kami
menolak pinangan Salman. Namun jika Abud Darda’ kemudian juga memiliki urusan
yang sama, maka puteri kami telah menyiapkan jawaban mengiyakan.”
Jelas sudah. Keterusterangan yang mengejutkan, ironis,
sekaligus indah. Sang puteri lebih tertarik kepada pengantar daripada
pelamarnya! Itu mengejutkan dan ironis. Tapi saya juga mengatakan indah karena
satu alasan; reaksi Salman. Bayangkan sebuah perasaan, di mana cinta dan
persaudaraan bergejolak berebut tempat dalam hati. Bayangkan sebentuk malu yang
membuncah dan bertemu dengan gelombang kesadaran; bahwa dia memang belum punya
hak apapun atas orang yang dicintainya. Mari kita dengar ia bicara.
”Allahu Akbar!”, seru Salman, ”Semua mahar dan nafkah yang
kupersiapkan ini akan aku serahkan pada Abud Darda’, dan aku akan menjadi saksi
pernikahan kalian!”
♥♥♥
Tak mudah menjadi lelaki sejantan Salman. Tak mudah menjadi
sahabat setulus Abud Darda’. Dan tak mudah menjadi wanita sejujur shahabiyah
yang kelak kita kenal sebagai Ummud Darda’. Belajar menjadi mereka adalah proses
belajar untuk menjadi orang yang benar dalam menata dan mengelola hati. Lalu
merekapun bercahaya dalam pentas sejarah. Bagaimanakah kiranya?
Ijinkan saya mengenang seorang
ulama yang berhasil mengintisarikan Ihya’ ‘Ulumiddin
karya Imam Al Ghazali. Ustadz Sa’id Hawa namanya. Dalam buku Tazkiyatun Nafs, beliau menggambarkan pada kita proses untuk
menjadi orang yang shadiq, orang yang benar. Prosesnya ada empat, ialah sebagai
berikut,
1. Shidqun
Niyah
Artinya benar dalam niat. Benar dalam semburat pertama hasrat
hati. Benar dalam mengikhlaskan diri. Benar dalam menepis syak dan riya’. Benar
dalam menghapus sum’ah dan ‘ujub. Benar dalam menatap lurus ke depan tanpa
mempedulikan pujian kanan dan celaan kiri. Benar dalam kejujuran pada Allah.
Benar dalam persangkaan pada Allah. Benar dalam meneguhkan hati.
2. Shidqul ‘Azm
Artinya benar dalam tekad. Benar dalam keberanian-keberanian.
Benar dalam janji-janji pada Allah dan dirinya. Benar dalam memancang
target-target diri. Benar dalam pekik semangat. Benar dalam menemukan motivasi
setiap kali. Benar dalam mengaktivasi potensi diri. Benar dalam memikirkan
langkah-langkah pasti. Benar dalam memantapkan jiwa.
3. Shidqul
Iltizam
Artinya benar dalam komitmen. Benar dalam menetapi
rencana-rencana. Benar dalam melanggengkan semangat dan tekad. Benar dalam
memegang teguh nilai-nilai. Benar dalam memaksa diri. Benar dalam bersabar atas
ujian dan gangguan. Benar dalam menghadapi tantangan dan ancaman. Benar dalam
mengistiqamahkan dzikir, fikir, dan ikhtiyar.
4.Shidqul
‘Amaal
Artinya benar dalam proses kerja. Benar dalam melakukan
segalanya tanpa menabrak pagar-pagar Ilahi. Benar dalam cara. Benar dalam
metode. Benar dalam langkah-langkah yang ditempuh. Benar dalam profesionalisme
dan ihsannya amal. Benar dalam tiap gerak anggota badan.
Nah, mari coba kita refleksikan
proses menjadi orang benar ini dalam proses menuju pernikahan. Seperti Salman.
Ia kuat memelihara aturan-aturan syar’i. Dan mengharukan caranya mengelola
hasrat hati. Insyaallah dengan demikian keberkahan itu semakin mendekat. Jikalau
Ash Shidq berarti kebenaran dan bermakna kejujuran, maka
yang pertama akan tampak sebagai gejala keberkahan adalah di saat kita jujur dan
benar dalam bersikap pada Allah dan manusia.
♥♥♥
Apa kiat sederhana untuk menjaga hati
menyambut sang kawan sejati? Dari pengalaman, ini jawabnya: memfokuskan diri
pada persiapan. Mereka yang berbakat gagal dalam pernikahan biasanya adalah
mereka yang berfokus pada “Who”. Dengan siapa. Mereka yang insyaallah bisa
melalui kehidupan pernikahan yang penuh tantangan adalah mereka yang berfokus
pada “Why” dan “How”. Mengapa dia menikah, dan bagaimana dia meraihnya dalam
kerangka ridha Allah.
Maka jika kau ingin tahu, inilah persiapan-persiapan itu:
1.Persiapan
Ruhiyah (Spiritual)
Ini meliputi kesiapan kita untuk mengubah sikap mental menjadi
lebih bertanggung jawab, sedia berbagi, meluntur ego, dan berlapang dada. Ada
penekanan juga untuk siap menggunakan dua hal dalam hidup yang nyata, yakni
sabar dan syukur. Ada kesiapan untuk tunduk dan menerima segala ketentuan Allah
yang mengatur hidup kita seutuhnya, lebih-lebih dalam rumahtangga.
2. Persiapan
‘Ilmiyah-Fikriyah (Ilmu-Intelektual)
Bersiaplah menata rumahtangga
dengan pengetahuan, ilmu, dan pemahaman. Ada ilmu tentang Ad
Diin. Ada ilmu tentang berkomunikasi yang ma’ruf kepada pasangan. Ada ilmu
untuk menjadi orangtua yang baik (parenting). Ada ilmu tentang penataan ekonomi.
Dan banyak ilmu yang lain.
3. Persiapan
Jasadiyah (Fisik)
Jika memiliki penyakit-penyakit, apalagi berkait dengan
kesehatan reproduksi, harus segera diikhtiyarkan penyembuhannya. Keputihan pada akhwat misalnya. Atau gondongan
(parotitis) bagi ikhwan. Karena virus yang menyerang kelenjar parotid ini, jika
tak segera diblok, bisa menyerang testis. Panu juga harus disembuhkan, he he.
Perhatikan kebersihan. Yang lain, perhatikan makanan. Pokoknya harus halal,
thayyib, dan teratur. Hapus kebiasaan jajan sembarangan. Tentang pakaian juga,
apalagi pada bagian yang paling pribadi. Kebiasaan memakai dalaman yang terlalu
ketat misalnya, berefek sangat buruk bagi kualitas sperma. Nah.
4.Persiapan
Maaliyah (Material)
Konsep awal; tugas suami adalah menafkahi, BUKAN mencari
nafkah. Nah, bekerja itu keutamaan & penegasan kepemimpinan suami. Persiapan
finansial #Nikah sama sekali TIDAK bicara tentang berapa banyak uang, rumah,
& kendaraan yang harus kita punya. Persiapan finansial bicara tentang
kapabilitas menghasilkan nafkah, wujudnya upaya untuk itu, & kemampuan
mengelola sejumlah apapun ia. Maka memulai per nikahan, BUKAN soal apa kita sudah punya
tabungan, rumah, & kendaraan. Ia soal kompetensi & kehendak baik
menafkahi. Adalah ‘Ali ibn Abi Thalib memulai pernikahannya bukan dari nol,
melainkan minus: rumah, perabot, dan lain-lain dari sumbangan kawan dihitung
hutang oleh Nabi. Tetapi ‘Ali menunjukkan diri sebagai calon suami kompeten; dia
mandiri, siap bekerja jadi kuli air dengan upah segenggam kurma.
Maka sesudah kompetensi & kehendak menafkahi yang wujud
dalam aksi bekerja -apapun ia-, iman menuntun: pernikahan itu jalan Allah
membuka kekayaan (QS 24: 32). Buatlah proyeksi nafkah rumahtangga secara ilmiah
& executable. JANGAN masukkan pertolongan Allah dalam hitungan, tapi siaplah
dengan kejutanNya.
Kemapanan itu tidak abadi. Saat belum mapan masing-masing
pasangan bisa belajar untuk menghadapi lapang maupun sempitnya kehidupan. Bahkan
ketidakmapanan yang disikapi positif menurut penelitian Linda J. Waite,
signifikan memperkuat ikatan cinta. Ketidakmapanan yang dinamis menurut
penelitian Karolinska Institute Swedia, menguatkan jantung dan meningkatkan
angka harapan hidup.
5. Persiapan
Ijtima’iyyah (Sosial)
Artinya, siap untuk bermasyarakat, faham bagaimana
bertetangga, mengerti bagaimana bersosialisasi dan mengambil peran di tengah
masyarakat. Juga tak kalah penting, memiliki visi dan misi da’wah di
lingkungannya.
Nah, ini semua adalah persiapan. Artinya sesuatu yang kita
kerjakan dalam proses yang tak berhenti. Seberapa banyak dari persiapan di atas
yang harus dicapai sebelum menikah? Ukurannya menjadi sangat relatif. Karena,
bahkan proses persiapan hakikatnya adalah juga proses perbaikan diri yang kita
lakukan sepanjang waktu. Setelah menikah pun, kita tetap harus terus mengasah
apa-apa yang kita sebut sebagai persiapan menikah itu. Lalu, kapan kita menikah?
Ya. Memang harus ada parameter yang jelas. Apa? Rasulullah
ternyata hanya menyebut satu parameter di dalam hadits berikut ini. Satu saja.
Coba perhatikan.
“Wahai sekalian pemuda,
barangsiapa di antara kalian telah bermampu
BA’AH, maka hendaklah ia menikah, karena
pernikahan lebih dapat menundukkan pandangan dan menjaga kehormatan farj. Dan
barangsiapa belum mampu, hendaklah ia berpuasa, sungguh puasa itu benteng
baginya.” (HR Al Bukhari dan Muslim)
Hanya ada satu parameter saja.
Apa itu? Ya, ba’ah. Apa itu ba’ah?
Sebagian ‘ulama berbeda pendapat tetapi menyepakati satu hal. Makna ba’ah yang
utama adalah kemampuan biologis, kemampuan berjima’. Adapun makna tambahannya,
menurut Imam Asy Syaukani adalah al mahru wan nafaqah,
mahar dan nafkah. Sedang menurut ‘ulama lain adalh penyediaan tempat tinggal.
Tetapi, makna utamalah yang ditekankan yakni kemampuan jima’.
Maka, kita dapati generasi awal
ummat ini menikahkan putra-putri mereka di usia muda. Bahkan sejak mengalami ihtilam (mimpi basah) pertama kali. Sehingga, kata Ustadz
Darlis Fajar, di masa Imam Malik, Asy Syafi’i, Ahmad, tidak ada kenakalan
remaja. Lihatlah sekarang, kata beliau, ulama-ulama besar dan tokoh-tokoh
menyejarah menikah di usia belasan. Yusuf Al Qaradlawi menikah di usia belasan,
‘Ali Ath Thanthawi juga begitu. Beliau lalu mengutip hasil sebuah riset baru di
Timur Tengah, bahwa penyebab banyaknya kerusakan moral di tengah masyarakat
adalah banyaknya bujangan dan lajang di tengah masyarakat itu.
Nah. Selesai sudah. Seberapa pun persiapan, sesedikit apapun
bekal, anda sudah dituntut menikah kalau sudah ba’ah. Maka persiapan utama
adalah komitmen. Komitmen untuk menjadikan pernikahan sebagai perbaikan diri
terus menerus. Saya ingin menegaskan, sesudah kebenaran dan kejujuran, gejala
awal dari barakah adalah mempermudah proses dan tidak mempersulit diri, apalagi
mempersulit orang lain. Sudah berani melangkah sekarang? Apakah anda masih perlu
sebuah jaminan lagi? Baik, Allah akan memberikannya, Allah akan
menggaransinya:
“Ada tiga golongan yang wajib bagi Allah menolong
mereka. Pertama, budak mukatab yang ingin melunasi dirinya agar bisa merdeka.
Dua, orang yang menikah demi menjaga kesucian dirinya dari ma’shiat. Dan ketiga,
para mujahid di jalan Allah.” (HR At Tirmidzi, An Nasa’i,
dan Ibnu Majah)
Pernah di sebuha milis, saya juga menyentil sebuah logika
kecil yang pernah disampaikan seorang kawan lalu saya modifikasi sedikit. Apa
itu? Tentang bahwa menikah itu membuka pintu rizqi. Jadi logikanya begini. Jatah
rizqi kita itu sudah ada, sudah pasti sekian-sekian. Kita diberi pilihan-pilihan
oleh Allah untuk mengambilnya dari jalan manapun. Tetapi, ia bisa terhalang oleh
beberapa hal semisal malas, gengsi, dan ma’shiat.
Kata ‘Umar ibn Al Khaththab, pemuda yang tidak berkeinginan
segera menikah itu kemungkinannya dua. Kalau tidak banyak ma’shiatnya, pasti
diragukan kejantanannya. Nah, kebanyakan insyaallah jantan. Cuma ada ma’shiat.
Ini saja sudah menghalangi rizqi. Belum lagi gengsi dan pilih-pilih pekerjaan
yang kita alami sebelum menikah. Malu, gengsi, pilih-pilih.
Tapi begitu menikah, anda mendapat tuntutan tanggungjawab
untuk menafkahi. Bagi yang berakal sehat, tanggungjawab ini akan menghapus
gengsi dan pilih-pilih itu. Ada kenekatan yang bertanggungjwab ditambah
berkurangnya ma’shiat karena di sisi sudah ada isteri yang Allah halalkan.
Apalagi, kalau memperbanyak istighfar. Rizqi akan datang bertubi-tubi. Seperti
kata Nabi Nuh ini,
“Maka aku katakan kepada mereka:
“Beristighfarlah kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun. Niscaya
Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan
anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di
dalamnya) untukmu sungai-sungai.” (Nuh
10-12)
Pernah membayangkan punya
perkebunan yang dialiri sungai-sungai pribadi? Banyaklah beristighfar, dan
segeralah menikah, insyaallah barakah. Nah, saya sudah menyampaikan. Sekali
lagi, gejala awal dari barakahnya sebuah pernikahan adalah kejujuran ruh,
terjaganya proses dalam bingkai syaria’t, dan memudahkan diri. Ingat kata
kuncinya; jujur, syar’i, mudah. Saya sudah
menyampaikan, Allaahummasyhad! Ya Allah saksikanlah! Jika
masih ada ragu menyisa, pertanyaan Nabi Nuh di ayat selanjutnya amat relevan
ditelunjukkan ke arah wajah kita.
“Mengapa kamu
tidak percaya akan kebesaran Allah?” (Nuh 13)
-Ust Salim A. Fillah-